Mengatur Bisnis Waralaba
Pembahasan kita kali ini adalah 6 Fakta Mengatur Bisnis Waralaba. Mungkinkah selama ini Anda berpikir bahwa membeli sebuah franchise pasti senantiasa menguntungkan karena seluruh kemungkinan risiko telah diperkecil oleh pihak franchisor?
Pemikiran demikian memang ada benarnya, walau tidak selalu benar dalam praktik dan kenyataannya. Mengapa risiko kegagalan usaha membeli franchise lebih kecil ketimbang membuka usaha sendiri? Sebab pada saat membuka usaha sendiri, masih ada metode “Trial and Error” yang patut diaplikasikan, apalagi apabila tidak ada rekan atau saudara yang dapat memberi bimbingan dalam usaha yang baru dirintis hal yang demikian.
Sedangkan sekiranya membeli franchise, risiko kegagalan bisa diperkecil, karena perusahaan pefranchise (franchisor) telah menyediakan segala sesuatunya untuk mendukung pemodal (terfranchise / franchisee), termasuk survei, cara pemasaran dan promosi, perizinan, bahan baku, manajemen, standar kerja (SOP), desain interior, dan lain sebagainya.
Berdasarkan John Naisbit dalam bukunya yang berjudul Megatrends, franchise yakni konsep pemasaran yang paling berhasil dalam sejarah umat manusia. Menurutnya, di USA, tiap-tiap delapan menit, lahir satu outlet franchise. Konsep franchise ini kemudian merambah sampai ke Indonesia, di mana sepuluh tahun terakhir ini banyak bermunculan pebisnis yang menawarkan konsep waralaba kepada masyarakat (calon pemberi modal).
Konsep baru ini menjadi topik hangat dikalangan dunia usaha dan media bisnis. Hasilnya, kian banyak orang yang berminat untuk menanamkan uangnya dengan membeli waralaba atau sekadar lisensi bisnis atau paling tak mengetahui lebih rinci bagaimana cara waralaba itu.
Tetapi yang perlu diketahui, bahwa rupanya tingkat kesuksesan franchise di Indonesia hanya mencapai 60% saja, meski di negeri asalnya, Amerika, menempuh 90%. Dari info-kabar yang beredar, ternyata memang banyak orang yang sukses dengan membeli franchise.
Artinya bisnis franchise yang dibeli berjalan layak dengan kemauan, di mana sasaran penjualan sampai masa Break Event Point (BEP) dan hingga ROI (Return On Investment). Alias “balik Kenapa” dapat terlampaui, dan akibatnya bisnis itu ibarat pohon uang, tinggal memetik keuntungan dari investasi permulaan.
Pada dasarnya, tak ada bisnis yang tanpa risiko. Ibarat dua sisi mata uang: ada gambar ada angka, selalu ada kemungkinan rugi yang semestinya dihadapi. Dengan bisnis franchise, setidaknya hal hal yang demikian bisa diminimalkan. Kenapa demikian? Karena franchise ialah bisnis yang sudah teruji dan risiko gagal dalam bisnis franchise dapat diturunkan sampai 85%. Artinya, ada garansi keamanan investasi pada variasi usaha ini.
Misalnya, dalam kasus peminjaman dana kepada franchisee, mungkin saja terjadi tunggakan kredit. Tapi di sisi lain, ada pula sebagian rahasia perusahaan waralaba yang mesti disuarakan kepada franchisee dan hal hal yang demikian dapat dimanfaatkan oleh pesaing atau franchisee lain dalam praktik bisnis yang tak sehat.
Sebagai dasar pertimbangan, Asosiasi Franchise Indonesia (AFI) memberikan sejumlah fakta kepada calon franchisee sebagai berikut:
1. Risiko kehilangan uang
Para franchisee umumnya patut membayarkan franchise fee sebagai prasyarat utama membeli franchise. Franchise fee bersifat non-refundable. Artinya, tak bisa ditarik atau diambil kembali setelah dibayarkan terhadap franchisor. Oleh karena itu, franchisee wajib siap menghadapi risiko kehilangan sejumlah uang yang sudah dibayarkannya itu sekiranya terbukti hak waralaba yang dibelinya gagal di tengah jalan, bahkan sebelum sempat beroperasi.
2. Siap mengalami kerugian
Tak penting berapa besar dana yang Anda miliki untuk diinvestasikan, tapi yang terlebih yakni seberapa besar kerugian yang dapat Anda tanggung seandainya bisnis franchise Anda mengalami kerugian. Mungkin saja, Anda dituntut untuk mengucurkan dana tambahan supaya menghasilkan profit di masa yang akan datang.
Tersediakah dana tambahan hal yang demikian dikala diperlukan (dari kocek sendiri atau pinjaman)? Adakah sumber penghasilan lain yang Anda miliki, sementara usaha waralaba yang Anda jalankan menyedot dana untuk menghasilkan cash flow positif?
3. Siap dikontrol secara ketat oleh franchisor
Tidak sedikit franchisor yang menetapkan semua hal secara sepihak, contohnya lokasi usaha, teritori yang dibiarkan, wujud desain outlet produk-produk atau jasa yang boleh dijual, resep, bahan baku, dan metode Anda mengelola usaha.
4. Tak dibiarkan memperpanjang perjanjian waralaba
Anda perlu menghitung risiko, apakah ketentuan tersebut masih menguntungkan bagi Anda atau tak. Seluruh franchise agreement usai dalam 5, 10, 15, atau 20 tahun. Mungkin saja Anda tidak memiliki pilihan untuk perpanjangan persetujuan waralaba sesudah masa kontrak usai.
5. Konsumsi menurun
Tak produk mempunyai lifecycle. Tak selamanya produk yang ditawarkan diminati oleh konsumen. Ada kalanya produk akan mengalami penurunan, bahkan ditinggalkan konsumen. Anda juga perlu berhati-hati saat Anda mendapati kenyataan bahwa produk yang Anda tawarkan rupanya sudah banyak dijumpai di pasar, tertinggal zaman atau pasarnya sudah terlalu jenuh oleh persaingan sehingga konsumsinya menurun.
6 Praktik tidak wajar
Anda mesti hati-hati kepada praktik hard sale atau cuma mencari untung sepihak dari franchisor. Telisik kecakapan dan nama bagus franchisor dalam memberikan dukungan bentang panjang yang berkelanjutan Franchisor yang bagus akan menolong dan memberikan dukungan penuh pada Anda.
Banyak orang beranggapan bahwa dengan membeli franchise berarti uangnya akan aman dan bisnisnya akan tetap berjalan. Kenyataannya tidaklah demikian. Di Indonesia usaha yang difranchisekan pada masa-masa eforia franchise sekitar 3-4 tahun yang lalu sekarang telah tidak ada lagi usahanya atau hanya tinggal 1-2 warung saja.
Parahnya lagi ada sebagian usaha yang difranchisekan justru kantor pusat alias franchisor-nya yang telah tutup alias gulung tikar. Oleh karena itu, berhati-hatilah. Itu sebabnya Asosiasi Franchise Indonesia (AFI) menerapkan peraturan yang ketat bagi anggotanya.
Stigma “membeli franchise lebih aman daripada memulai usaha sendiri dengan cara dan merek sendiri”, tak sepenuhnya benar. Dalam progres standarisasi franchise di luar negeri, seorang franchisee sepatutnya melewati pelaksanaan menunggu atau waiting list.
Selain itu sepatutnya menjalankan wawancara berkali-kali sampai franchisornya yakin bahwa orang tersebut sesuai untuk menerima franchise yang diinginkan. Belum lagi, pihak yang terlibat malah seharusnya memperhitungkan lokasi untuk tempat usaha yang menjadi salah satu ukuran terutama suksesnya sebuah franchise.
Sekian informasi tentang 6 Fakta Mengatur Bisnis Waralaba, semoga artikel ini berguna untuk sahabat semua. Mohon postingan ini dishare agar semakin banyak yang mendapatkan manfaat.